kotabontang.net - Tantangan mendidik anak zaman sekarang makin sulit jika dibandingkan dengan zaman orang tua membesarkan kita dulu. Serbuan teknologi internet menjadikan tugas orang tua zaman sekarang makin berat.
WELL… sebelum mengeluh, coba jawab jujur pertanyaan berikut. Ketika anak sedang menangis, pernahkah kita memberikan gadget untuk membuatnya tenang? Ketika sedang makan bersama keluarga di restoran, bukannya saling mengobrol, tetapi malah asyik dengan smartphone masing-masing? Bisa jadi jawabannya tidak hanya pernah, melainkan sering, atau sangat sering.
Sejak internet booming sekitar 1996, ditambah gelombang media sosial, sebagian besar penduduk dunia ”berubah”. Karakteristik generasi yang lahir setelah booming teknologi digital juga berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Bagi generasi Z atau yang lebih dikenal dengan sebutan generasi net (lahir pada era setelah 1995 atau 2000-an), hampir seluruhnya terpapar teknologi sejak usia sangat dini.
Psikolog Elizabeth T. Santosa MPSi memaparkan dalam bukunya, Raising Children in Digital Era, orang tua harus memahami karakteristik anak-anak mereka, generasi net. Pertama, generasi itu punya ambisi besar untuk sukses. Kedua, generasi net cenderung praktis dan berperilaku instan. ”Sekarang informasi apa saja bisa didapat dalam sekali klik. Mereka terbiasa menyukai pemecahan masalah yang praktis,” ucapnya.
Alhasil, mereka jarang melalui proses panjang mencermati masalah. Mengerjakan tugas sekolah menggunakan laptop, mengirimnya melalui e-mail, serta menyelesaikan tugas bisa ”terbantu” oleh internet. Perkembangan teknologi di satu sisi membuat segalanya jadi lebih mudah. Namun, dalam hidup, ada saatnya manusia bisa berperilaku praktis. Pada waktu lain, dibutuhkan proses panjang. ”Orang tua tetap perlu mendidik anak mengenai konsep proses, daya tahan, dan komitmen agar mereka menjadi pribadi yang lebih tangguh,” tutur ibu tiga putri itu.
Generasi tersebut juga percaya diri serta menyukai hal yang detail, menguasai penggunaan segala macam gadget, dan lebih memilih berkomunikasi melalui media sosial daripada mengobrol langsung. Itu tantangan bagi orang tua dan pendidik yang tidak selalu bisa menyediakan informasi cukup. Generasi net lebih suka mencari jawaban lewat internet daripada bertanya kepada orang tua atau guru.
Solusinya? ”Orang tua dan pendidik wajib meng-upgrade diri. Paham teknologi, update informasi global terkini. Jangan sampai kalah oleh teknologi,” tegas Lizzie, sapaan Elizabeth.
Berdasar data statistik Global Web Index, rata-rata penduduk Indonesia mengakses informasi via internet selama 5,5 jam per hari. Penggunaan internet melalui smartphone rata-rata 2,5 jam per hari.
Anak sering terperangkap dalam keasyikan bergadget, lupa berinteraksi dengan lingkungan sekitar. ”Hasilnya, empati yang rendah, tidak berinisiatif untuk membina hubungan dengan teman sebaya di kelas, dan asyik ngobrol di media sosial,” papar psikolog alumnus Universitas Tarumanegara itu.
Di sini diperlukan peran orang tua sebagai leader yang memiliki kendali mengarahkan perilaku anak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, mengikuti aturan orang tua. Lizzie mengingatkan bahwa penggunaan media sosial tidak diperuntukkan anak di bawah usia 13 tahun.
Orang tua juga harus memastikan kesiapan mental anak sebelum membuat akun media sosial. ”Kenali fitur proteksi yang terdapat pada gadget seperti parental control, cek history yang dibuka anak,” urai Lizzie. Batasi penggunaan gadget, komputer, laptop, televisi, games, dan smartphone.
Selain itu, muncul fenomena baru sekitar 2010, yakni nomophobia (no mobile phone phobia). Yaitu, gangguan psikis berupa kecemasan berlebihan ketika tidak menggenggam telepon seluler. ”Penyebabnya, adiksi atau ketergantungan terhadap smartphone,” ujar Lizzie. Orang tua perlu mengarahkan agar anak tetap memiliki aktivitas lain tanpa gadget. Misalnya, membaca buku, berolahraga, melakukan hobi melukis, bela diri, dan banyak lainnya yang tidak bersinggungan dengan gadget. (nor/c6/dos/jawapos)